Selasa, 25 Mei 2010

Braga

Braga
dalam sorot terang lampu jalan
ditopang tiang berkarat
gedung tua berbaris ditepi
seperti asyik merenung hari-hari lampau
berkelebat lampu-lampu
mobil buatan jepang dan eropa
seperti berlomba
menderu tanpa ambil peduli
menyebrang di jalan ini seperti uji ketetapan hati

braga
deru musik
tempat makan berkurung kaca
cafe-cafe yang remang menyerupai guha
pelukis trotoar
terlukis padi dan gunung
atau ayat-ayat suci
namun kenyataan memilih glandangan dan pelacur

braga
trotoar campur aduk
segala hati bertemu tanpa saling menyapa
kilat lampu blitz
bagai berteriak dalam sekejap
seperti ingin berkata lain
bukan senyum
bukan pose

braga
aku menengok sekilas
tersenyum pada ukiran si cepot
tersenyun pada krikil
tersenyum pada pesingnya tembok

braga
aku sendiri

Jumat, 18 Desember 2009

Palace des Vosges

Palace des Vosges


Aku pertama kali melihatanya di Paris, ketika dengan rambutnya yang hitam tergerai, memakai stelan blus hitam, dan kaus kaki tinggi, hingga menutupi betisnya yang montok indah, ia berdiri memandangi bangunan tua Hôtel des Tournelles dengan rumput yang tercukur rapi di Palace des Vosges, yang membuat aku menjadi penasaran adalah tawanya yang lepas, ketika menghadapi anak kecil yang tiba-tiba menabraknya, merubah wajah anak itu yang semula gugup, menjadi ikut tersenyum.

Namun La principale raison, aku benar-benar menggebu untuk mengetahui siapa dia adalah wajahnya yang khas, tak ubahnya wajah perempuan-perempuan di negeri ku Indonesia, dan yang pasti dia cantik.

Rasa menggebu itu ternyata belum cukup untuk menyulut keberanianku berkenalan langsung dengannya, dan kepengecutanku harus dibayar dengan mahal, dia pergi, sampai berhari-hari kemudian, dia menghilang, setiap hari aku mengunjungi Palace des Vosges, tak kunjung aku bertemu denganya, setan apa yang mengaduk-aduk perasaanku seperti ini, bimbang, kesal, dan yang jelas aku merana dalam seminggu ini.

Karena kekecewaan ku yang mengendap, sempat terpikir untuk melupakannya, toh dia hanya perempuan yang aku temui sekilas di sebuah taman, buat apa segala siksaan ini, “bodohnya aku”. Aku pun memutuskan untuk pulang karena matahari mulai surut di barat.

Aku melangkah keluar melalui gerbang utara, menyeberangi Rue du Pas-de-la-Mule, dengan terkejut aku melihatnya di seberang jalan, duduk di sebuah bangku pemberhentian bus, sambil dengan tenang memandangi pejalan kaki yang lalu lalang, aku benar-benar terkejut dan gugup, rasa gugup yang tiba-tiba ini, untuk sesaat membuatku kehilangan kendali diri, terpaku memandanginya.

“Pardon!”, seorang wanita gemuk berkata dengan kesal karena terhalangi jalanya,segera sadar, bahwa aku membeku di tengah pejalan kaki.

Dia sadar dengan tingkah lakuku yang ganjil dan pandanganku padanya, “silahkan masih ada tempat duduk untuk anda”.

Dengan malu aku berjalan dan langsung duduk di sampingnya.

“sepertinya anda mengamat-amati saya”, dia berkata dengan pandangan yang tetap lurus, dan kendali penuh akan dirinya.

“Sepertinya ada yang menarik dari diri saya bagi anda”, ujarnya.

Pertanyaan yang bertubi-tubi ini melebihi kapasitas keteguhan hatiku, aku semakin gugup saja, sebelum sempat aku memberikan jawaban, “tak mengapa”, sambil tersenyum, iya menjawab semua pertanyaanya sendiri.

“Saudara dari Indonesia?”tanyanya

“iya” jawabku “bagaimana nona tau?”.

“Ah kalian orang Indonesia begitu khas”, tak jelas aku apa yang dia maksud dengan khas itu.

“ kalau boleh saya tau apakah nona juga berasal dari Indonesia?” tanyaku

Dia mengambil bir kalengan dari tasnya yang memang agak besar, ”may I?”

“Oh silahkan saja” sahutku, dia meneguknya dan kemudian tersenyum, bernafas dengan teratur, seperti bersiap-siap untuk mengeluarkan sesuatau dari hatiya.

“Iya saya dari Indonesia”

“namun aku mohon agar kita bercakap-cakap dalam Prancis saja” katanya sambil terus tersenyum

“karena ada sesuatu yang tak tertahan jika aku mengingat negeri tempat aku lahir”

“apa itu?” seketika aku sadar atas kelancanganku

“Maafkan saya jika nona merasa agak terganggu dengan pertanyaan saya” tukas ku buru-buru.

“aku lahir di klungkung, Bali” sahutnya tanpa mempedulikan rasa tak enak ku

Kisahnya segera ku dengar. Ayahnya seorang seniman desa, dia seorang pemahat, untuk hari-hari tertentu ayahnya selalu di panggil untuk membuat pahatan, ibunya seorang penari, ia memiliki sebuah halaman yang luas, yang sering kali digunakan ibunya untuk mengajar anak-anak desa menari, pada tahun 1963 ayahnya memasuki Lekra, karena lebih didorong olah semangat untuk memperkenalkan pahatan bali secara lebih luas dari pada motif idiologi, dan Lekra adalah satu-satunya organisasi kesenian yang ada, dan tampak progresif.

“Maret tahun 65 aku dikirim ke paris, sebagai duta budaya” “ dan ternyata keberangkatan ku ke Paris menjadi pertemuan terakhir ku dengan orangtuaku, dan negeriku” sambungnya dengan air muka yang mulai berubah sedih.

September 65 terjadi kudeta yang gagal oleh PKI, yang membawa konsekuensi yang tidak terperi, bagi para anggotnya, termasuk anggota-anggota organisasi underbow, termasuk lekra, ayah dan ibunya hilang tak jelas, sahabatku itu tak bisa pulang, keadaan negeri sedang tak jelas, takut karena dia anak seorang anggota PKI.

“Di paris aku terkatung-katung sebagai imigran, kedutaan sedang kacau”, “mengadu ke kedutaan sama dengan bunuh diri” ujarnya
“dideportasi, dan mungkin aku akan mati”.
“Mulailah hidupku sebagai kelana yang tak menentu”.
“Himpitan keuangan memaksa aku untuk kerja apa saja, pelayan toko, mencuci piring, dan jika ada yang menyuruh aku untuk menari aku menari”.

“Pekerjaanku mamaksaku untuk fasih berbahasa prancis, dan membuatku memiliki beberapa teman, mereka bangsa prancis dan rata-rata étudiant universitas yang sering duduk-duduk di tempat aku bekerja”, namun himpitan keuangan tak kunjung teratasi.

“Heranlah kau, bila aku ketika itu hidup di Paris di tepi dari pelacuran?” katanya “Aku makan jika ada teman yang punya uang dan sudi mengajakku untuk makan bersamanya”. Dan aku tidur bersama laki-laki yang malam itu sudi membagi ranjangya dengan aku.

“mengapa tidak pulang saja? Toh peristiwa itu sudah tiga tahun yang lalu terjadi” aku memotong ceritanya

”pulang? Ah, kau ini, mau bertemu siapa jika aku pulang? Mungkin semua keluarga ku sudah mati di dalam parit” sahutnya dengan getir

”dan mungkin butuh tiga generasi, bukan tiga tahun, untuk menyembuhkan luka ini dalam ingatan kolektif orang-orang didesa ku, dan pada ingatan ku sendiri”

”ya aku rasa memang begitu” ”dan kebodohan yang kita lakukan memang menyakitkan” sahutku mengamini perkataannya

” tapi apakah kau memang ingin terus di sini?, di Paris?” tanya ku

“Tidak” dia menjawab dengan datar

Dan secara tiba-tiba iya memegang tangan ku, keadaan yang tiba-tiba ini membuat jantungku berdegup, bukan karena tak suka, justru aku menyukai nya, namun karena begitu tiba-tiba.

”sesorang laki-laki telah mengajak ku pergi, ia orang yang sangat sopan, sama seperti orang sebangsanya ” ia melanjutkan ceritanya

”ia orang Indonesia”

”ia kutemu dalam sebuah bar di sekitar Place Pigalle, dimana aku bekerja sebagai seorang bargirl, sudah begitu jauh kejatuhanku, sehingga aku mesti menuangkan minum pada lelaki yang semakin mabuk, semakin kurang ajar. Kemudian datanglah ia, tetapi ia berbeda, ia sangat sopan”
”ditunggunya aku pada waktu pulang kerjaku pukul empat pagi, disapanya, apakah ia boleh mengantarkan aku pulang, tidak jawabku, dan ia mengerti” ”bawalah aku kerumahmu, semula dia terkejut namun segera ia mengelengkan kepalanya”,”tidak mungkin aku tinggal dengan paman ku”

”siapa paman mu itu? Tanya ku“

”dia duta besar negeriku, untuk Prancis, dia menjawab”

”Akhirnya kami berjalan-jalan, menikmati subuh dan musim semi di kota ini, karena merasa nyaman, aku menceritakan semua riwayatku dan aku tak keberatan ketika tiba-tiba ia memegang tanganku”

”dan tanpa tau bagai mana, aku mencintainya”

”kami menyewa sebuah flat kecil, ia meneruskan kuliahnya, dan aku bekerja”
”tahun-tahun itu menjadi tahun-tahun bahagia untukku”
”sampai suatu saat ia lulus dan harus pergi. Aku akan segera kembali dan membawa mu, kita bisa menikah”
”ya sahut ku, kau akan kembali. Aku mengulang kata-katanya”
”satu minggu yang lalu aku mendapat suratnya untuk menunggu di Palace des Vosges, hari ini ia akan menemuiku, kita akan berangkat ke Indonesia”
”ah sungguh bahagia, kau akan berangkat sekarang jadinya” sahutku
”ya, seharusnya. Sampai satu surat datang tadi pagi. Dia tidak bisa meneruskan semuanya, bahwa orang tuanya tidak setuju, mereka tau bahwa aku anak seseorang yang menjadi anggota PKI, anak yang berorangtua komunis”
“itu bisa menggangu karir orang tuanya sebagai orang pemerintahan, dan yang pasti negara benci orang komunis, termasuk anak-anaknya”

Aku terkejut mendengar pengakuannya yang begitu dingin, sepertinya kesedihan sudah menghimpitnya sedemikaian rupa, sehingga butuh untuk dilepaskan.

Tiba-tiba ia mencium pipi ku, aku merasakan tetesan air mata yang hangat pada bibirnya
“ aku harus segera pergi, terimakasih telah mau menjadi pendengarku”

Ia berjalan melintasi kerumunan orang, dan menghilang di subway, ingin aku mengejarnya, namun hati ini seperti melarang, dan hal ini yang menjadi penyesalan seumur hidupku mungkin.

Semenjak saat itu, tidak pernah kutemui lagi ia di Palace des Vosges, dan semenjak itu pula bangunan yang indah, taman-taman yang hijau, di Palace des Vosges, tidak menarik lagi bagiku, hanya membuatku kosong ketika memandanginya.



Bandung 18 des 2009
Gemuruh Geo Pratama

Jumat, 20 November 2009

start

nyaring :

ini adalah awalan